Pernahkah Anda mendengar tentang coaching? Anda mungkin mengenal berbagai jenis pendekatan yang bisa digunakan dalam proses people development, seperti mentoring atau training. Coaching adalah salah satu jenis pendekatan yang juga bisa dilakukan dalam proses pengembangan, lebih tepatnya dalam membantu seseorang untuk menemukan potensi maksimalnya dan mencapai tujuannya.
Menurut International Coach Federation (ICF), coaching merupakan sebuah bentuk kemitraan antara coach dengan klien dalam sebuah proses yang memprovokasi pemikiran dan bersifat kreatif yang kemudian menginspirasi klien atau coachee untuk memaksimalkan potensi personal dan profesionalnya. Definisi ini menunjukkan bahwa dalam prosesnya, coaching menitikberatkan fokus pada coachee; apa pemikiran-pemikiran yang ia miliki, apa potensi yang bisa digali dari dalam dirinya, apa tujuan yang ingin ia capai, dan seperti apa komitmen yang ia miliki untuk mencapainya.
Peran seorang coach dalam proses ini adalah menjadi mitra dan mendampingi coachee dengan cara menggali dan memprovokasi pemikiran coachee. Sesuai dengan definisi coaching dari ICF, seorang coach profesional harus menguasai kompetensi yang diperlukan untuk bisa menggali dan memprovokasi dengan tepat, sehingga benar-benar bisa memberikan manfaat untuk coachee.
Dalam perannya mendampingi dan menggali coachee, ada satu hal yang sering menjadi tantangan bagi seorang coach, yaitu menjaga agar fokus penggalian senantiasa terletak pada coachee. Ini artinya coach harus benar-benar memastikan bahwa ia menghormati apa pun nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh coachee. Seorang coach yang profesional tidak akan mendikte atau memaksakan ukuran-ukuran atau nilai-nilai pribadinya terhadap coachee, walaupun ia memiliki ukuran atau nilai yang berbeda atau yang ia pikir lebih baik.
Model Kompetensi Inti ICF sendiri juga sudah mengatur hal ini, di mana ICF menyatakan bahwa “coach harus peka terhadap identitas, lingkungan, pengalaman, nilai-nilai, dan keyakinan klien”.
Penerapannya dalam Konteks Indonesia
Keterampilan seorang coach untuk bisa sepenuhnya menghormati nilai-nilai dan memahami ukuran-ukuran yang dimiliki oleh coachee bisa menjadi sesuatu yang semakin menantang saat kita berbicara soal coaching di Indonesia. Kenapa seperti itu? Karena seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat majemuk. Kemungkinan adanya perbedaan nilai-nilai, ukuran, dan keyakinan menjadi semakin besar seiring dengan bervariasinya latar belakang budaya dan upbringing yang kemudian memengaruhi pola pikir dan kebiasaan yang dimiliki masing-masing coachee.
Banyak hal yang terlihat sederhana ternyata tetap bisa menjadi ‘jebakan’ bagi para coach dalam menghormati ukuran yang dimiliki coachee.
Misalnya, saat seorang coachee menyatakan bahwa ia ingin berkembang dalam kariernya, bisa jadi coach langsung menyimpulkan bahwa itu artinya coachee ingin mendapatkan promosi atau naik jabatan. Padahal, bisa jadi coachee lebih ingin memperbanyak skill yang ia miliki, walaupun tanpa promosi.
Atau saat seorang coachee mengatakan bahwa ia merasa belum bisa menjadi orang tua yang lebih baik bagi anaknya, coach bisa saja langsung menyimpulkan bahwa itu artinya coachee belum memberikan waktu yang cukup untuk anak atau tidak mendampingi pendidikannya. Padahal, ternyata maksud coachee tersebut adalah ia ingin bisa menjadi pendengar yang lebih baik untuk anaknya.
Contoh lainnya misalnya seorang coachee yang ingin membahas tentang bisnisnya, lalu coach langsung berasumsi bahwa yang dicari oleh coachee tersebut adalah uang atau profit. Padahal, ternyata tujuan coachee tersebut adalah untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya untuk orang di sekitarnya.
Menghormati nilai-nilai diri pada coachee tidak melulu terkait dengan hal-hal yang tampak besar, seperti keyakinan spiritual, agama, preferensi politik, atau orientasi seksual. Nilai-nilai diri ini juga tercermin dari setiap keputusan yang ia buat dan kebiasaan yang ia miliki dalam kehidupan sehari-hari, dari hal-hal yang paling kecil sekalipun. Di sinilah keterampilan coach semakin diuji, karena hal-hal yang kecil justru biasanya menjadi jebakan yang lebih besar, karena luput dari perhatian kita.
Peningkatan Kompetensi Coach Profesional
Jadi apa yang perlu dilakukan agar proses coaching bisa berjalan dengan optimal dan efektif, dan tidak tertutup oleh awan bias dari coach?
Pertama, seorang coach perlu memastikan bahwa ia mengetahui dan memahami kompetensi yang dibutuhkan.
Mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikasi adalah langkah awal yang bisa dilakukan, untuk memastikan bahwa coach nantinya bisa menerapkan ilmu yang ia miliki dengan struktur dan sistem yang tepat. Seorang coach yang memiliki sertifikasi juga biasanya akan terikat pada serangkaian kode etik untuk memastikan bahwa ia tetap profesional dan bisa memberikan manfaat kepada para kliennya.
Kedua, coach perlu untuk tidak hanya mengetahui dan memahami, tapi juga menjadi sangat terlatih dalam kompetensi yang dibutuhkan.
Jam terbang menjadi sesuatu yang esensial dalam profesi seorang coach. Semakin banyak pengalaman seorang coach dalam mendampingi klien yang berbeda-beda, akan semakin kaya pula pemahamannya dan semakin peka ia terhadap nilai-nilai berbeda yang dimiliki klien.
Ketiga, coach perlu memperkaya pengetahuan dan keterampilannya dengan bidang-bidang ilmu lainnya yang bisa menunjang.
Contohnya, keterampilan berkomunikasi, pengetahuan tentang kesehatan mental, atau bahkan pemahaman mendasar ilmu psikologi. Dengan pengetahuan yang kaya akan konteks, coach akan mampu melihat sebuah topik atau isu dengan kacamata yang berbeda-beda. Kemampuan untuk dapat menerapkan lebih dari satu sudut pandang dalam melihat sesuatu akan sangat membantu coach dalam mendampingi kliennya dengan objektif.
Jadi, bagaimana menurut Anda setelah membaca pemaparan di atas? Apakah Anda tertarik untuk bekerja sama dengan seorang coach? Atau Anda malah tertantang untuk menjadi coach profesional?
Lihat juga video Penggalian Kedalam Diri Coachee untuk memahami lebih dalam pola pikir dan emosi yang mendasari perilaku coachee.
Artikel Karya: Meriza Lenanda, LCPC – Batch 54