Dalam dunia bisnis dan dunia kerja, istilah “Coaching” pastilah tidak asing lagi bagi banyak orang. Pemahaman coaching itu sendiri bisa kadang diartikan dengan perspektif berbeda dan bahkan aplikasi coachingnya juga bisa bervariasi.
Walaupun saya sudah mendengar kata coaching lebih dari satu dekade yang lalu, proses coaching yang saya pahami dari buku ataupun internet yang saya baca dan jelajahi, pada intinya adalah dengan teknik bertanya atau “powerful questioning”. Dan sampai saya juga melahap buku “The art of questioning” untuk memperdalam pertanyaan-pertanyaan yang bermakna yang bisa saya pakai.
Jadi itulah yang saya praktekkan dengan tim saya di tempat kerja dan bahkan di kehidupan sehari-hari, dimana saya banyak menggali dengan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu dan diakhiri dengan memberikan saran, pengalaman dan kesimpulan bersama. Selama saya menggunakan teknik kombinasi dari coaching, mentoring, dan consulting, sepertinya metode tersebut cukup dirasa efektif dimana produktivitas dan performance tim saya juga meningkat, hubungan dengan tim juga lebih dinamis dan interaktif, koordinasi dan komunikasi juga meningkat.
Tetapi pemahaman tersebut berubah seketika, ketika saya mengikuti pelatihan sertifikasi coaching yang terdaftar di International Coaching Federation (ICF)”, dimana ada istilah “Pure Coaching” atau diterjemahkan sebagai “Coaching Murni”. Pure coaching sering di analogikan seperti “black coffee” atau “kopi hitam”. Hal ini dikarenakan seorang coach yang murni melaksanakan proses coaching hanya akan bertanya dan menggali saja kepada klien atau coacheenya. Coach bahkan sama sekali tidak memberikan saran atau masukan. Semua ide dan pemikiran berasal dari si klien sendiri.
“International Coaching Federation (ICF) sendiri mendefinisikan”Coaching” sebagai hubungan kemitraan dengan individu melalui proses kreatif untuk memaksimalkan potensi personal dan profesionalnya.”
Pengalaman pertama mempraktekkan pure coaching sangatlah menantang dan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Sungguh saya merasakan perbedaan dari cara bertanya, menjaga emosi, mendengar aktif dan alur dari prosesnya. Saya memang penggemar kopi hitam dan ini benar-benar saya rasakan dan nikmati rasa kopi hitam tersebut secara real dalam pure coaching. Walaupun menikmati rasa kopi hitamnya tidak langsung terasa enak pada saat “seruputan” pertama. Setelah paling tidak tiga kali seduhan kopi, saya baru bisa merasakan rasa kopi yang menyenangkan.
Sempat merasakan “hiccups” pada saat minum kopi tersebut, yang berupa keraguan bagaimana kalau coachee tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan untuk tujuan yang ingin dicapai. Tapi keraguan tersebut haruslah dibuang karena pemeran utama atau focus dalam proses coaching adalah coachee atau orangnya, kepribadian, sikap, komitment dan hasilnya.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul dibenak saya adalah apakah pure coaching memang paling efektif untuk meningkatkan performance ataupun produktivitas karyawan atau staff atau tim ? Apakah blended model atau analoginya “kopi susu” (yang sudah di campur dengan creamer, gula, ataupun lainnya) juga di nilai efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?
Saya pikir hal tersebut tergantung bagaimana kita mengemasnya sebagai coach ataupun apapun profesinya karena yang terpenting mengetahui dan memahami pure coaching sangatlah bermanfaat untuk professional coach. Memang diharapkan dalam mengeksplorasi potensi coachee melalui bertanya, coachee mampu menjadi pemimpin bagi diri sendiri, mampu menjadi manusia pembelajar, mampu menyesuaikan dengan kondisi sekarang untuk terus berkembang, serta mampu mengaktualisasikan ide dan pemikirannya sehingga orang tersebut dapat lebih percaya diri untuk mengambil keputusan dan melaksanakan rencana aksi dengan “lebih” bertanggung jawab.
Jika saya masih memilih “blended coffee” atau “kopi susu” dalam coaching proses, itu karena sebagai partner akuntabilitas sangat yakin bahwa coachee atau klien memiliki sumber daya dalam dirinya untuk mencari solusi dan berkomitmen atas kesuksesan dirinya untuk mencapai tujuannya. Hanya situasi tertentu dan menyesuaikan dengan kesepekatan dengan klien dan sponsor, maka tambahan seperti saran, feedback, berbagi pengalaman, ketrampilan, dll akan diberikan kepada klien jika diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan klien tercapai dengan sukses.
Sangat disadari bahwa untuk dapat menjalankan coaching yang benar, ada baiknya untuk mengikuti sertifikasi coaching di Lembaga atau Institute yang sudah terakreditasi. Hal ini akan memberikan kepercayaan diri kepada coach untuk menjalani profesinya sebagai professional coach.
“Tanpa kopi, hidup akan terasa hambar … Tanpa coaching, hampa terasa rasanya.”
Artikel karya: Fenni Kumala, LCPC – CPCP 37