Belakangan ini makin sering terdengar istilah “quiet quitting” yang merujuk pada fenomena di mana karyawan melakukan tugasnya secara minimum dan tidak memiliki dorongan untuk berbuat lebih. Contohnya bermacam-macam, mulai dari penolakan untuk lembur hingga kurangnya inisiatif atau antusiasme dalam bekerja. Meskipun nampaknya tidak berbahaya di tingkat individu, riset menunjukkan dampak negatif bagi perusahaan. Laporan Gallup tahun 2023 menemukan bahwa quiet quitting menyebabkan penurunan produktifitas sebesar 17% dan kenaikan absensi sebesar 21%, yang pada akhirnya mempengaruhi performa perusahaan. Artikel ini akan membahas akar penyebab quiet quitting dan bagaimana coaching diharapkan dapat mengatasinya.
Baca juga artikel Menjaga Kepentingan Seluruh Pihak Dalam Hubungan Coaching di Korporasi!
Quiet quitting berakar pada beberapa faktor antara lain burnout, kurangnya work-life balance, dan kurangnya apresiasi. Faktor pertama yaitu burnout seringkali dipicu oleh beban kerja berlebihan dan kurangnya komunikasi yang jelas dari manajemen. Ini dibuktikan pada sebuah studi tahun 2022 dari Society for Human Resource Management: 41% karyawan menyatakan merasakan burnout, sehingga engagement dan motivasi kerja mereka menurun. Faktor kedua yaitu kurangnya work-life balance didukung oleh studi tahun 2023 dari Rand Corporation yang menemukan bahwa karyawan yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki kemungkinan mengalami burnout dan penurunan engagement dua kali lebih tinggi. Faktor terakhir yaitu kurangnya pengakuan dan apresiasi ditunjukkan melalui laporan Gallup di tahun 2023 yang menemukan bahwa karyawan yang merasa kontribusinya tidak diakui juga merasakan penurunan engagement dan lebih mungkin memiliki kinerja minimum. Ketiga faktor penyebab ini perlu diatasi apabila perusahaan ingin memupuk lingkungan kerja yang lebih produktif.
Organisasi dapat mengatasi ketiga akar penyebab di atas dengan menerapkan coaching. Riset dari International Coaching Federation menemukan bahwa coaching memupuk keterampilan komunikasi positif pada para leader, yang dapat meningkatkan engagement karyawan sebesar 27%. Komunikasi terbuka semacam ini membantu karyawan dalam menyuarakan kekhawatiran mereka terkait beban kerja berlebih, burnout dan kurangnya apresiasi, yang semuanya merupakan penyebab quiet quitting.
Coaching juga membantu manajer mengidentifikasi dan memanfaatkan kekuatan seorang karyawan, sehingga tujuan individual karyawan tersebut dapat diselaraskan dengan tujuan organisasi. Ini ditunjukkan pada sebuah studi tahun 2023 oleh the Association for Talent Development yang menemukan adanya peningkatan kinerja sebesar 21% ketika tujuan individu mengalami keselarasan dengan tujuan organisasi. Terakhir, coaching membekali para manajer dengan kemampuan untuk memberi umpan balik dan pengakuan secara efektif. Ini didukung oleh sebuah studi dari Reward & Recognition Association di tahun 2022 yang menemukan bahwa cara tersebut dapat meningkatkan retensi karyawan sebesar 23%.
Akhir kata, investasi dalam bentuk coaching menawarkan solusi untuk melawan fenomena quiet quitting dan dampak negatifnya bagi produktifitas dan retensi karyawan. Coaching memberi kemampuan komunikasi efektif bagi manajer, memupuk relasi positif antara manajer dan karyawan, dan menyelaraskan tujuan individu karyawan dengan tujuan perusahaan. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun angkatan kerja yang lebih termotivasi, mengurangi kecenderungan quiet quitting dan membawa manfaat bagi karyawan dan perusahaan.
Saksikan juga video Budaya Coaching di Organisasi & Perusahaan!
Artikel Karya: Kurniati Shinta Dewi, LCPC, LCACC – LCACCP 01