Diperkirakan pada tahun 2020, generasi milenial akan menguasai 75% angkatan kerja. Milenial akan memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan generasi sebelumnya, oleh karena itu, perusahaan harus mengetahui cara bekerja dengan milenial secara efektif. Milenial lahir antara tahun 1980 – 1994. Disamping mereka lebih open-minded, tapi mereka cenderung memiliki loyalitas yang rendah dengan perusahaan. “Tantangan loyalitas” ini dikarenakan mereka merasa tidak diberdayakan dengan baik dan tidak pengembangan diri sebagai pemimpin
Berdasarkan survei Deloitte pada tahun 2016 (figur 1) kepada 7,432 responden di negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia, persentase milenial yang akan pindah ke pekerjaan selanjutnya dalam kurun waktu 2 tahun kurang adalah 44%, dan hanya 11% yang memutuskan untuk tetap bekerja diperusahaan yang sama. Mengingat jumlah pensiun generasi baby boomers akan meningkat, hal ini menunjukkan perusahaan menghadapi kesenjangan kepemimpinan.
Milenial memandang bahwa bisnis harus mengutamakan karyawan, dan bisnis harus memiliki pondasi kepercayaan dan integritas. Agar dapat mengcoach milenial kita harus mengerti prioritas mereka.
Pada figur 2, kita akan melihat “Kesenjangan Kepemimpinan” – perbedaan antara prioritas milenial jika mereka memimpin perusahaan dengan prioritas tim pemimpin senior. Hanya sedikit milenial yang memiliki nilai profit-focused akan menjamin keberlangsungan perusahaan. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, milenial lebih menekankan pada ”kesejahteraan karyawan” dan “pertumbuhan dan pengembangan karyawan”.
Berdasarkan survei global Harvard Business Review bekerja sama dengan Oxford Economics pada tahun 2014 kepada 1,400 responden, milenial menginginkan feedback dari atasan mereka 50% lebih tinggi dibandingkan karyawan lain dan bersifat bulanan. Namun hanya 46% yang menilai bahwa atasan mereka memberikan feedback yang sesuai dengan harapan mereka. Hal ini menunjukkan banyak ruang untuk perbaikan.
Cara Coaching Generasi Milenial
Milenial memandang bahwa bisnis harus mengutamakan karyawan, dan bisnis harus memiliki pondasi kepercayaan dan integritas. Agar dapat men-coach milenial, kita harus mengerti prioritas mereka.
Pada figur 2, kita akan melihat “Kesenjangan Kepemimpinan” – perbedaan antara prioritas milenial jika mereka memimpin perusahaan dengan prioritas tim pemimpin senior. Hanya sedikit milenial yang memiliki nilai profit-focused akan menjamin keberlangsungan perusahaan. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, milenial lebih menekankan pada ”kesejahteraan karyawan” dan “pertumbuhan dan pengembangan karyawan”.
Berdasarkan survei global Harvard Business Review bekerja sama dengan Oxford Economics pada tahun 2014 kepada 1,400 responden, milenial menginginkan feedback dari atasan mereka 50% lebih tinggi dibandingkan karyawan lain dan bersifat bulanan. Namun hanya 46% yang menilai bahwa atasan mereka memberikan feedback yang sesuai dengan harapan mereka. Hal ini menunjukkan banyak ruang untuk perbaikan.
Milenial tidak menginginkan atasan yang formal. Mereka menginginkan atasan yang bisa menjadi coach yang mampu mengembangkan mereka. Berikut ini hal yang mereka harapakan dari coaching:
- Inspirasi Mereka: Milenial terlibat dengan hal yang membantu orang, bukan institusi. 4 sifat dari inspiring coach adalah memberikan visi, meningkatkan hubungan, memotivasi hasil, dan menjadi role model.
- Jadilah Otentik: Coach yang berbagi kisah kegagalan, perjuangan dan kemenangan lebih dipilih oleh milenial. Coach yang lebih otentik dan pendengar yang baik mendapatkan kepercayaan lebih dari mereka.
- Dorong Talenta Unik Mereka: Milenial memiliki sikap “Aku Ngerti”, dan mereka siap untuk menghadapi segala rintangan. Dorong mereka menggunakan telanta unik dan “kepribadian yang lebih rajin” melambung