“Kemaruk“, mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan situasi pribadi saya sebelum mengikuti kelas coaching ini. Bagaimana tidak, ketika deadline desertasi yang semakin mepet, pengajuan proposal progam ke Kemendikbud yang bolak-balik direvisi, perintisan Lembaga Konsultan Pendidikan Al Qur’an yang masih seumur jagung, belum lagi kegiatan di beberapa tempat lainnya, yang kesemuanya membutuhkan perhatian dan konsentrasi yang maksimal, saya justru malah “nekat“ mendaftarkan diri dalam pelatihan professional coach.
Awalnya saya berpikir “Wah keren ini, saya akan diajari bagaimana cara melakukan coaching seseorang layaknya para pelatih sepakbola.” Tapi ketika masuk kelas perdana, saya malah merasa “gelap“. Semua asumsi dan ekspektasi saya runtuh seketika. Bayangan saya nanti akan banyak diajari cara mengarahkan seseorang dengan tehnik presentasi layaknya para trainer professional ternyata berbeda 200 derajat. Sebaliknya, saya justru diajari dan dipaksa untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi justru dari sinilah pengalaman belajar yang mengasyikan itu dimulai.
Selama ini saya beranggapan bahwa memberikan pelatihan adalah cara terbaik untuk “mengubah“ seseorang, tiba-tiba tersedak sadar, ternyata ada cara lain, teknik coaching namanya. Maka Loop Institute of Coaching menjadi pilihan saya berlabuh untuk belajar dan mengais ilmu tentang coaching. Saya benar-benar belajar dan diajari bagaimana menjadi seorang prefesional coach yang sesungguhnya. Bersama para mentor yang sangat professional, saya belajar bertahap demi tahapan dan tanpa terasa saya sudah mulai bergerak ke arah yang progresif meski secara perlahan. Saya sadar ini tidak mudah, tapi saya meyakini ada kebaikan-kebaikan yang telah menungu saya dari proses belajar ini.
Dari kelas inilah saya memahami definisi coaching versi ICF tentang bentuk kemitraan dengan seseorang dalam proses pemikiran yang memprovokasi dan adil dalam menginspirasi mereka untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesionalitasnya. Coaching adalah perbincangan antara seorang coach dengan coachee dalam menstimulasi, mengispirasi, memberikan helicopter view untuk pemikirannya sendiri, yang menjadikan coachee menemukan jawaban dan solusi dari pikirannya sendiri. Proses coaching juga membuka kunci dari potensi seseorang untuk memaksimalkan performanya. Coaching juga merupakan Teknik yang sangat kuat dalam mendengarkan dengan hadir sepenuh hati, dan memberikan pertanyaan yang memungkinkan seseorang mendapatkan kesadaran, serta aksi apa yang harus dilakukan setelahnya. Coaching juga membuka cakrawala berfikir saya untuk terus belajar dari pengalaman orang lain, Dan itu ternyata sangat mengasyikkan.
Bagaimana Menerapkan Coaching Dalam Dunia Pendidikan?
Sebagai orang yang berkecimpung dan cukup intens di dunia Pendidikan, saya berpikir bahwa dunia Pendidikan mudah untuk mengadakan pengembangan dan perubahan dibanding industri lain, apalagi semestinya para guru lebih suka dan banyak membaca jika dibanding karyawan di perusahaan. Tapi faktanya tidak demikian. Ada beberapa hal yang menyebabkan perubahan di dunia Pendidikan terasa jauh lebih sulit:
- Pertama, model kepemimpinan yang Hierarki, jika pimpinannya sudah merasa di zona nyaman, gagap teknologi, enggan membaca buku, dan itu diperparah dengan gaya kepemimpinannya yang otoriter, maka perubahan itu akan sulit untuk diharapkan.
- Kedua, begitu banyak beban administasi buat guru. Guru sibuk dengan pedoman pembelajaran yang memangkas kreatifitas mereka.
- Ketiga, materi dan pola pelatihan guru selama ini yang tidak kekinian, dan dilaksanakan secara kurang serius serta parsial.
Tiga hal diatas seolah menggambarkan rentan terjadinya gap antara kualitas guru dengan kebutuhan pembelajaran siswa generasi-Z. Dimana generasi ini memiliki kecendrungan dan cara berpikir yang unik. Jika para guru tidak mampu memahmi realitas ini dampaknya keduanya akan mengalami tekanan. Perlu sebuah jembatan untuk mengatasinya, dan jembatan itu bernama coaching. Proses coaching akan sangat membantu pimpinan sekolah untuk melayani dan menolong guru untuk memberdayakan dan mengotimalkan potensi peserta didik. Sehingga terjadi sebuah kolaborasi yang positif antara pimpinan dengan pendidik, kolaborasi pendidik dengan siswa, dan itu akan membuat sebuah relasi yang harmonis antara sekolah dan orang tua.
“Ing ngarso sung tulodo (di depan menjadi teladan), ing madyo mbangun karso (ditengah menciptakan prakarsa dan ide), tutu wuri handayani (dibelakang memberikan dorongan).”– Ki Hajar Dewantoro.
Para pendidik, Tertarik melakukan sesi coaching?
Artikel Karya: Syaifudin Noer, LCPC – batch 40