Organisasi atau perusahaan dikatakan sukses bukan hanya karena mencapai atau melebihi kinerja yang telah ditetapkan atau menghasilkan laba yang luar biasa, namun juga organisasi tersebut harus dapat mengembangkan kompetensi, meningkatkan motivasi, loyalitas, produktivitas dan kontribusi serta membuat engage karyawan-karyawannya. Dan lebih jauh dari itu organisasi pasti memiliki tujuan menjadi living organization sebagaimana cita-cita para pendirinya.
Untuk meraih kinerja yang istimewa, memiliki karyawan yang kompeten, termotivasi, loyal dan senantiasa engage dibutuhkan upaya atau program-program yang mendukung kepada tujuan-tujuan organisasi tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, salah satu program yang dianggap manjur dan efektif untuk mendukung hal tersebut adalah coaching.
Sekitar dua puluh tahun lalu, tidak banyak organisasi yang mengenal istilah coaching, dan itupun dengan definisi yang belum sesungguhnya seperti pengertian saat ini. Coaching sering disandingkan bahkan berbaur dengan program lain seperti mentoring dan counseling. Konsep dan definisi coaching menurut International Coaching Federation (ICF) adalah : “Coaching sebagai bentuk kemitraan dengan klien dalam proses pemikiran yang memprovokasi dan kreatif dalam menginspirasi mereka untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional mereka.”. dengan definisi ini organisasi sudah lebih jernih dan jelas mengenal arti coaching dan membedakan dengan program lain seperti mentoring, counseling, consulting, dan lain-lain.
Membangun sebuah program, termasuk coaching, menjadi budaya di perusahaan tentu bukan hal yang mudah. Ada tahap-tahap yang harus dilalui, apalagi jika coaching itu masih sebagai sebuah hal baru dan belum dikenal di organisasi. Pengalaman menunjukkan bahwa sesuatu hal akan menjadi budaya di sebuah organisasi atau perusahaan, terlebih perusahaan-perusahaan di Indonesia, melalui lima tahap yaitu dipaksa, terpaksa, bisa, biasa dan budaya.
Hal pertama yang harus dimiliki oleh organisasi agar coaching menjadi budaya adalah komitmen manajemen puncak terhadap program coaching ini. Sebagaimana visi, misi, dan values, coaching harus menjadi top down program, bukan usulan dari bawah atau bottom up yang kemudian disetujui oleh manajemen puncak. Karena jika manajemen puncak setengah hati, bahkan tidak punya sense of belonging atau tidak involve serta buy-in terhadap program coaching ini maka akan sulit terlaksana dengan baik, alih-alih menjadi sebuah budaya di dalam perusahaan. Coaching bukanlah program hit and run yang “sekali pukul langsung menghasilkan lalu ditinggalkan”, namun coaching adalah program yang harus sustain sejalan dengan cita-cita organisasi untuk menjadi living organization.
Setelah mendapatkan komitmen dari manajemen puncak, maka organisasi harus menyusun kebijakan-kebijakan soft policy dan hard policy tentang program coaching. Organisasi harus menyusun pedoman-pedoman atau peraturan-peraturan tentang coaching, pelatihan-pelatihan untuk internal coach, dan fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan-kegiatan coaching di organisasi.
Dan yang paling penting lagi, manajemen puncak yang terdiri dari Board of Directors (BOD) dan BOD-1 harus memiliki keterampilan coaching. Oleh karena itu manajemen puncaklah yang terlebih dahulu harus mendapatkan keterampilan ini sebelum level-level di bawahnya. Ini juga menjadi bagian upaya sense of belonging dari manajemen puncak terhadap program coaching di perusahaan.
Setelah BOD dan BOD-1 sudah memiliki coaching skill yang memadai, maka secara ideal seluruh leader atau superior di organisasi juga harus memiliki keterampilan sebagai coach agar proses coaching di organisasi dapat terlaksana dengan baik dan benar. Karena itu kehadiran external coach yang melatih BOD, BOD-1, seluruh leader dan superior di organisasi sangat dibutuhkan.
Jadi, sejatinya organisasi tidak bisa sendirian membangun kultur coaching di dalam organisasi. Dibutuhkan para external coach untuk mengakselerasi coaching ini menjadi budaya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan kompetensi perusahaan maupun individu yang terlibat di dalam organisasi. Disamping itu, tidak hanya program individual atau one to one coaching yang dibutuhkan, namun yang tak kalah penting adalah program coaching group.
Akhirnya, program coaching itu tidak berhenti menjadi budaya di sebuah organisasi, namun menjadi sebuah kebutuhan bahkan addict bagi individu maupun organisasi. Karena selama manusia dan organisasi masih berada di dunia ini, maka masalah atau persoalan dan juga perubahan pasti menyertai. Dan kemudian tentu memerlukan cara-cara atau solusi yang jitu untuk menyelesaikan dan mengatasinya. Karena itulah coaching diperlukan kehadirannya dan menjadi sebuah keniscayaan kehadirannya di mana saja dan di generasi apa saja.
Artikel karya Naufal Mahfudz, Executive and Career Coach